Periodisasi Sastra Indonesia
Sastra Indonesia
berkembang dari waktu ke waktu, bahkan sebelum bahasa Indonesia diresmikan pada
28 Oktober 1928. Pada zaman dahulu bahasa Melayu dipakai sebagai bahasa
kerajaan dan bahasa sastra (Purwoko, 2004: 84), hasil-hasil sastra berbahasa
Melayu yang tidak tertulis juga sudah ditemukan sejak abad ke-19. Sementara
itu, pondasi pendirian sastra Indonesia baru tegak berdiri pada tahun 1920-an
dengan munculnya Balai Poestaka. Sejak saat itu sastra berkembang sampai saat
ini, sastra Indonesia secara umum terbagi oleh beberapa periode, yaitu angkatan
Balai Pustaka, Pujangga Baru, angkatan 1945, angkatan 1950, angkatan 1966, dan
angkatan 1970—sekarang. Di era 2000-an seperti sekarang mulai dikenal cyber sastra, yaitu sastra yang beredar luas di dunia
cyber atau internet. Berikut akan dipaparkan satu demi satu penjelasan terkait
periodisasi sastra Indonesia.
Angkatan Balai Pustaka (1920—1933)
Balai Pustaka didirikan
pada tahun 1908, tetapi baru tahun 1920-an kegiatannya dikenal banyak pembaca
(Purwoko, 2004: 143). Berawal ketika pemerintah Belanda mendapat kekuasaan dari
Raja untuk mempergunakan uang sebesar F.25.000 setiap tahun guna keperluan
sekolah bumi putera yang ternyata justru meningkatkan pendidikan masyarakat. Commissie
voor de Inlandsche School-en Volkslectuur, yang dalam perkembangannya berganti
nama Balai Poestaka, didirikan dengan tujuan utama menyediakan bahan bacaan
yang “tepat” bagi penduduk pribumi yang menamatkan sekolah dengan sistem
pendidikan Barat. Sebagai pusat produksi karya sastra, Balai Poestaka mempunyai
beberapa strategi signifikan (Purwoko, 2014: 147), yaitu
- merekrut dewan redaksi secara selektif
- membentuk jaringan distribusi buku secara
sistematis
- menentukan kriteria literer
- mendominasi dunia kritik sastra
Pada masa ini bahasa
Melayu Riau dipandang sebagai bahasa Melayu standar yang yang lebih baik dari
dialek-dialek Melayu lain seperti Betawi, Jawa, atau Sumatera. Oleh karena itu,
para lulusan sekolah asal Minangkabau, yang diperkirakan lebih mampu
mempelajari bahasa Melayu Riau, dipilih sebagai dewan redaksi. Beberapa
diantaranya adalah Armjin Pene dan Alisjahbana. Angkatan Balai Poestaka baru
mengeluarkan novel pertamanya yang berjudul Azab dan Sengsara karya Merari Siregar pada tahun 1920-an. Novel
yang mengangkat fenomena kawin paksa pada masa itu menjadi tren baru bagi dunia
sastra. Novel-novel lain dengan tema serupa pun mulai bermunculan. Adapun
ciri-ciri karya sastra pada masa Balai Poestaka, yaitu
- Gaya Bahasa : Ungkapan klise pepatah/pribahasa.
- Alur : Alur Lurus.
- Tokoh : Plot karakter ( digambarkan
langsung oleh narator ).
- Pusat Pengisahan : Terletak pada orang
ketiga dan orang pertama.
- Terdapat digresi : Penyelipan/sisipan yang
tidak terlalu penting, yang dapat menganggu kelancaran teks.
- Corak : Romantis sentimental.
- Sifat : Didaktis (pendidikan)
- Latar belakang sosial : Pertentangan paham
antara kaum muda dengan kaum tua.
- Peristiwa yang diceritakan saesuai dengan
realitas kehidupan masyarakat.
- Puisinya berbentuk syair dan pantun.
- Menggambarkan tema pertentangan paham
antara kaum tua dan kaum muda, soal pertentangan adat, soal kawin paksa,
permaduan, dll.
- Soal kebangsaan belum mengemuka, masih
bersifat kedaerahan.
Angkatan Pujangga Baru (1933—1942)
Pada tahun1933, Armijn
Pane, Amir Hamzah, dan Sultan Takdir Alisjahbana mendirikan sebuah majalah yang
diberi nama Poejangga Baroe. Majalah Poedjangga Baroe menjadi wadah khususnya bagi seniman atau pujangga yang ingin
mewujudkan keahlian dalam berseni. Poedjangga Baroe merujuk pada nama sebuah institusi literer yang
berorientasi ke aneka kegiatan yang dilakukan para penulis pemula. Majalah ini
diharapkan berperan sebagai sarana untuk mengoordinasi para penulis yang hasil
karyanya tidak bisa diterbitkan Balai Poestaka (Purwoko, 2004: 154).
Selain memublikasikan
karya sastra, majalah ini juga merintis sebuah rubrik untuk memuat esai
kebudayaan yang diilhami oleh Alisjahbana dan Armijn Pane. Kelahiran majalah Poedjangga Baroe menjadi titik tolak kebangkitan kesusastraan
Indonesia. S.T. Alisjahbana, dalam artikel Menudju Masjarakat dan
Kebudajaan Baru, menjelaskan bahwa
sastra Indonesia sebelum abad 20 dan sesudahnya memiliki perbedaan yang
didasari pada semangat keindonesiaan dan keinginan yang besar akan perubahan.
Adapun karakteristik
karya sastra pada masa itu terlihat melalui roman-romannya yang sangat
produktif dan diterima secara luas oleh masyarakat. Pengarang yang paling
produktif yaitu Hamka dan Alisjahbana. Hamka, dalam Mengarang Roman, mengatakan Roman adalah bentuk modern dari
hikayat. Roman memperhalus bahasa yang sebelumnya sangat karut marut menyerupai
kalimat Tionghoa sehingga secara tidak langsung roman-roman yang ada mampu
memicu minat baca masyarakat yang awalnya tidak gemar membaca.
Berdasarkan isi cerita,
tema-tema yang ada memperlihatkan kecenderungan para pengarang yang membuat
tokoh-tokoh dalam ceritanya berakhir pada kematian. Pengaruh Barat yang sangat
kental pada perkembangan sastra Indonesia dalam periode Pujangga Baru
menghasilkan beberapa perbedaan pandangan dalam kalangan sastrawan pada saat
itu.Sebagai contoh, novel pertama yang diterbitkan majalah ini,
Belenggu, pernah ditolak oleh Balai Pustaka karena dianggap mengandung isu
tentang nasionalisme dan perkawinan yang retak. Dengan alasan didaktis, kedua
isu budaya tersebut dianggap tidak cocok dengan kebijakan pemerintah kolonial.
Angkatan ’45
Munculnya Chairil Anwar dalam panggung sejarah sastra Indonesia
dengan menampilkan sajak-sajak yang bernilai tinggi memberikan sesuatu yang baru
bagi dunia sastra tanah air. Bahasa yang dipergunakannya adalah bahasa
Indonesia yang berjiwa. Bukan lagi bahasa buku, melainkan bahasa percakapan
sehari-hari yang dibuatnya bernilai sastra (Rosidi, 1965: 91). Dengan munculnya
kenyataan itu, maka banyaklah orang yang berpendapat bahwa suatu angkatan
kesusateraan baru telah lahir. Angkatan ini memiliki beberapa sebutan, yaitu
Angkatan ’45, Angkatan Kemerdekaan, Angkatan Chairil Anwar, Angkatan Perang,
Angkatan Sesudah Perang, Angkatan Sesudah Pujangga Baru, Angkatan Pembebasan,
dan Generasi Gelanggang.
Angkatan ’45 adalah angkatan yang muncul setelah berakhirnya
Angkatan Pujangga Baru. Angkatan ini terbentuk karena Angkatan Pujangga Baru
dianggap gagal menjalankan gagasannya. Pujangga Baru yang semula memiliki
gagasan baratisasi sastra Indonesia, nyatanya hanya mentok pada belandanisasi.
Dengan kata lain, tokoh-tokoh atau karya-karya seni dan sastra yang diambil
sebagai acuan dan sumber inspirasi hanya berasal dari negeri Belanda saja,
bukan dari penjuru Barat. Untuk meluruskan persepsi tersebut, muncullah
Angkatan ’45 sebagai gantinya.
Keberadaan angkatan ini
erat hubungannya dengan Surat Kepercayaan Gelanggang. Konsep humanisme
universal menjadi acuan Perkumpulan Gelanggang karena mereka merasa karya-karya
yang dibuat oleh Angkatan Pujangga Baru kurang realistis pada masa itu.
Angkatan Pujangga Baru yang beraliran romatis dinilai terlalu utopis dan hanya
mementingkan estetika. Berbeda dengan Angkatan Pujangga Baru, Angkatan ’45
beraliran ekspresionisme-realistik. Karya-karya yang dihasilkan bergaya
ekspresif, menggambarkan identitas si seniman dan juga realistis. Dalam hal
ini, realistis berarti fungsional atau berguna untuk masyarakat. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa Angkatan ’45 menganut pendapat seni untuk
masyarakat, sementara Pujangga Baru menganut pendapat seni untuk seni.
Tema yang banyak
diangkat dalam karya-karya seni Angkatan ’45 adalah tema tentang perjuangan
kemerdekaan. Dari karya-karya bertemakan perjuangan itulah amanat yang
menyatakan bahwa perjuangan mencapai kemerdekaan tak hanya dapat dilakukan
melalui politik atau angkat senjata, tetapi perjuangan juga dapat dilakukan
melalui karya-karya seni. Angkatan ’45 mulai melemah ketika sang pelopor,
Chairil Anwar, meninggal dunia. Selain itu, Asrul Sani, yang juga merupakan
salah satu pelopor mulai menyibukkan diri membuat skenario film. Kehilangan
akan kedua orang tersebut membuat Angkatan ’45 seolah kehilangan kemudinya.
Akhirnya, masa Angkatan ’45 berakhir dan digantikan dengan Angkatan’50.
Angkatan
’45 memiliki gaya yang berbeda dengan Angkatan Pujangga Baru. Gaya ini
dipengaruhi oleh kondisi politik masing-masing angkatan. Angkatan Pujangga Baru
memiliki gaya romantis-idealis karena pada saat itu perjuangan kemerdekaan
belum sekeras yang dialami Angkatan ’45. Sementara Angkatan ’45 yang terbentuk
pada saat gencarnya perjuangan kemerdekaan memilih gaya
ekspresionisme-realistik agar dapat berguna dan diterima oleh masyarakat. Pada
akhirnya, semua angkatan yang ada sepantasnya menyadari fungsi sosial mereka.
Setiap angkatan harus memikirkan letak kebermanfaatan mereka bagi masyarakat
karena mereka hidup dan tumbuh di dalam masyarakat.
Angkatan 1950
Angkatan ini dikenal
krisis sastra Indonesia. Sejak Chairil Anwar meninggal, lingkungan kebudayaan
“Gelanggang Seniman Merdeka” seolah-olah kehilangan vitalitas. Salah satu
alasan utama terhadap tuduhan krisis sastra tersebut adalah karena kurangnya
jumlah buku yang terbit. Sejak tahun 1953 , Balai Pustaka yang sejak dulu
bertindak sebagai penerbit utama buku-buku sastra, kedudukannya sudah tidak
menentu (Rosidi, 1965: 137). Sejak saat itu aktivitas sastra hanya dalam
majalah-majalah, seperti Gelanggang/Siasat, Mimbar Indonesia, Zenith, Poedjangga Baroe, dll.
Karena sifat majalah,
maka karangan-karangan yang mendapat tempat terutama yang berupa sajak, cerpen,
dan karangan-karangan lain yang tidak begitu panjang. Sesuai dengan yang
dibutuhkan oleh majalah-majalah, maka tak anehlah kalau para pengarangpun
lantas hanya mengarang cerpen, sajak, dan karangan lain yang pendek-pendek
(Rosidi, 1965: 138). Hal itulah yang memunculkan istilah “sastra majalah” pada
masa itu. Berikut pendapat Soeprijadi Tomodihardjo, dalam artikelnya
“Sumber-Sumber Kegiatan”1
- Kesusastraan sedang memasuki masa krisis,
masalah kualitas dan kuantitas.
- Ekspansi ideologi ke dalam dunia seni
mengakibatkan banyak orang meninggalkan nilai-nilai seni yang wajar, dan
ideologi politik kian menguat.
- Seni dan politik adalah pencampuradukan
yang lahir dari kondisi masa itu.
- Pada masa itu pula telah lahir
organisasi-organisasi kegiatan kesenian yang mengarahkan kegiatanya pada
seni sastra dan seni drama.
- Hal ini mengindikasikan seni mendapat
perhatian.
- Kesusastraan berhubungan erat dengan adanya
tempat berkegiatan, Jakarta di angggap sebagai pusatnya. Anggapan ini
diluruskan, Jakarta hanya sebagai pusat produksi dan publikasi
Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa angkatan 1950 merupakan angkatan yang sepi oleh karya karena
sastra Indonesia yang ada dianggap sudah tidak lagi memiliki identitas,
kesusasteraan mengalami krisis baik kualitas maupun kuantitas karena lahirnya
pesimisme dan penggunaan seni ke ranah politik yang tidak dibarengi dengan
tanggung jawab.
Angkatan 1966
Adalah suatu kenyataan
sejarah bahwa sejak awal pertumbuhannya sastrawan-sastrawan Indonesia
menunjukkan perhatian yang serius kepada politik (Rosidi, 1965: 177). Pada masa
ini sastra sangat dipengaruhi oleh lembaga kebudayaan seperti Lekra dan
Manikebu. Pada tahun 1961 Lekra,organ PKI yang memperjuangkan komunisme, dinyatakan
sebagai organisasi kebudayaan yang memperjuangkan slogan “politik adalah
panglima”. Sementara Menifes Kebudayaan merupakan sebuah konsep atau pemikiran
di bidang kebudayaan dan merupakan sebuah reaksi terhadap teror budaya yang
pada waktu itu dilancarkan oleh orang-orang Lekra. Manifes kebudayaan di tuduh
anti-Manipol dan kontra Revolusioner sehingga harus dihapuskan dari muka bumi
Indonesia. Pelarangan Manifes Kebudayaan diikuti tindakan politis yang makin
memojokkan orang-orang Manifes Kebudayaan, yaitu pelarangan buku karya
pengarang-pengarang yang berada di barisan. Adapun buku-buku yang pernah
dilarang, antara lain Pramudya Ananta Toer, Percikan Revolusi,
Keluarga Gerirya, Bukan pasar Malam ,Panggil Aku Kartini Saja , Korupsi dll; Utuy T. Sontani, Suling, Bunga Rumah
makan,Orang-orang Sial, Si Kabayan dll; Bakri Siregar, Ceramah Sastra, Jejak Langkah , Sejarah
Kesusastraan Indonesia Modern.
Menurut H. B. Jassin,
ciri-ciri karya pada masa ini adalah sebagai berikut
- mempunyai konsepsi Pancasila
- menggemakan protes sosial dan politik
- membawa kesadaran nurani manusia
- mempunyai kesadaran akan moral dan agama
Angkatan 70-an sampai sekarang
Pada masa ini karya
sastra berperan untuk membentuk pemikiran tentang keindonesiaan setelah
mengalami kombinasi dengan pemikiran lain, seperti budaya. Ide, filsafat, dan
gebrakan-gebrakan baru muncul di era ini, beberapa karya keluar dari paten
dengan memperbincangkan agama dan mulai bermunculan kubu-kubu sastra populer
dan sastra majalah. Pada masa ini pula karya yang bersifat absurd mulai tampak.
Di tahun 1980—1990-an
banyak penulis Indonesia yang berbakat, tetapi sayang karena mereka dilihat
dari kacamata ideologi suatu penerbit. Salah satu penerbit yang terkenal sampai
sekarang adalah Gramedia. Gramedia merupakan penerbit yang memperhatikan sastra
dan membuka ruang untuk semua jenis sastra sehingga penulis Indonesia
senantiasa memiliki kreativitas dengan belajar dari berbagai paten karya, baik
itu karya populer, kedaerahan, maupun karya urban. Sementara setelah masa
reformasi, yaitu tahun 2000-an, kondisi sastra tanah air dapat digambarkan
sebagai berikut2
- Kritik Rezim Orde Baru
- Wacana Urban dan Adsurditas
- Kritik Pemerintah terus berjalan
- Sastra masuk melalui majalah selain majalah
sastra.
- Sastra bersanding dengan Seni Lainnya,
banyak terjadi alih wahana pada jaman sekarang
- Karya yang dilarang terbit pada masa 70-an
diterbitkan di tahun 2000-an, banyak karya Pram yang diterbitkan, karya
Hersri Setiawan, Remy Sylado, dsb.
Seperti seorang anak,
Sastra mengalami masa pertumbuhan. Masa pertumbuhan sastra tidak akan dewasa
hingga jaman mengurungnya. Sastra akan terus menilai jaman melalui pemikiran
dan karya sastrawannya. Pada tahun 1970-an, sastra memiliki karakter yang
keluar dari paten normatif. Pada tahun 1980-an hingga awal 1990-an, sastra
memiliki karakter yang diimbangi dengan arus budaya populer. Pada tahun 2000-an
hingga saat ini, sastra kembali memiliki keragaman kahzanah dari yang populer,
kritik, reflektif, dan masuk ke ranah erotika dan absurditas3
Perkembangan Sastra
Indonesia:Periodisasi, Tokoh, dan Pendekatannya
Dalam sejarah perkembangannya,
sastra indonesia memiliki periodisasi-periodisasiyang membedakannya.
Periode-periode sastra tersebut menurut H.B. Jassin terbagi atasdua periode,
yaitu periode sastra Melayu Lama dan periode sastra Indonesia Modern.Periode
sastra Indonesia modern kemudian terbagi atas empat angkatan, yaitu
AngkatanBalai Pustaka, Angkatan Pujangga Baru, A
ngkatan „45,
dan A
ngkatan „66.
Periode sastra Melayu Lama
adalah sastra Indonesia sebelum abad ke-20. Karya-karyasastra pada periode
tersebut masih menggunakan bahasa Melayu. Selain itu, karya-karyatersebut
umumnya bersifat anonim.Periode sastra Indonesia Modern dimulai pada tahun
1920-an. Balai Pustaka adalahangkatan yang memulai periode sastra Indonesia
Modern ini. Angkatan Balai Pustakadikenal juga dengan sebutan angkatan
Siti Nurbaya
. Hal tersebut karena
Siti Nurbaya
adalah salah satu roman yang
sangat terkenal dibuat pada angkatan itu. Selain dari
Siti Nurbaya
karya lain yang terkenal pada
pariode itu diantaranya adalah
Azab danSengsara
karya Merari Siregar, dan
Salah Pilih
karya St.
Iskandar.Periode kedua dari periode sastra
Indonesia Modern adalah angkatan Pujangga Baru.Pujangga Baru adalah angkatan
yang muncul sebagai reaksi ketidaksukaan sastrawan-sastrawan atas sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap banyak
karya,terutama yang berhubungan dengan nasionalisme dan kesadaran
kebangsaan. AmirHamzah mendapat gelar
sebagai Raja Pujangga Baru. Karya sastra yang terkenal padaangkatan
Pujangga Baru salah satunya adalah
Layar Terkembang
karya Sutan
TakdirAlisjahbana.Selanjutnya angkatan yang lahir pada periode sastra Indonesia
Modern adalah angkatan
„45. Angkatan ‟45 lahir dalam
suasana peperangan mempertahankan kemerdekaan
Indonesia. P
emberian nama angkatan ‟45 sesuai
dengan pernyataan H.B. Jassin yang berbunyi “Juga tidak jadi keberatan
kalau mereka baru dalam tahu 1949 mendapatkan
nama pasti Angkatan ‟45.”
Sastrawan yang terkenal pada Angkatan ‟45 diantaranya
adalah Chairil Anwar, Rivai Apin,
dan Pramoedya Ananta Toer.
Angkatan terkahir dalam periode
sastra Indonesia Modern adalah angkatan ‟66.
Angkatan ini dimulai saat terbitnya
majalah
Horison
. Karya sastra pada angkatan
inimulai beragam. Karya sastra yang terkenal pada angkatan ini diantaranya
adalah
Pabrik
karya Putu Wijaya dan
Tirani dan Benteng
karya Taufik Ismail.Masing-masing
periodisasi sastra tersebut memiliki ciri dan keistimewaan. Periodesastra
Melayu Lama yang umumnya bersifat istanasentris menggambarkan keadaanyang
terdapat pada masa sebelum abad ke-20. Karya-karya sastra pada periode
tersebutumumnya menceritakan hal-hal mistis yang sangat lekat dengan masyarakat
pada masaitu.Sama dengan periodisasi sastra Melayu Lama, periodisasi sastra
Indonesia Modern jugamemiliki ciri dan keistimewaan. Periode sastra Indonesia
Modern merupakan titik tolak kesusastraan Indonesia. Bahasa Indonesia mulai
digunakan dalam periode sastraIndonesia Modern. Empat jenis angkatan dengan
masing-masing ciri dan alirannya yangmenandakan kemajuan sastra Indonesia lahir
pada periode ini.Angkatan Balai Pustaka menonjol dengan aliran romantisme dalam
karya-karyanya.Angkatan Pujangga Baru menonjol dengan aliran nasionalisme,
individualisme,intelektualisme, dan materialisme dalam banyak karya
nya. Angkatan ‟45 bercorak
realis, naturalis, dan individualis
dalam karya-
karyanya. Angkatan ‟45 juga memiliki
corak romantik. Namun romanti mereka
menurut H.B. Jassin adalah romantik berisipengalaman yang tidak hanya beralas
perasaan. Selain itu, berbagai aliran baru dalamsastra muncul pada angkatan
ini, yaitu surealis, arketipe, absurd, dll. Yang terakhir
adalah angkatan ‟66 yang bercorak
perjuangan. Angkatan ini merupakan angkatan
pemuda yang memperjuangkan keadilan
dan kebenaran dalam tubuh pemerintah RI.Karya-karya sastra pada angkatan ini
berisi pembelaan terhadap Pancasila yang berisiprotes sosial dan politik.Salah
satu sastrawan yang namanya melegenda dalam sejarah sastra Indonesia
adalahChairil Anwar. Chairil anwar adalah salah satu sastrawan
dari Angkatan ‟45. Chairil
Anwar melakukan revolusi
kesusastraan yang memperlihatkan bahwa ia bukan lagi
termasuk Pujangga Baru. Ia memiliki
pengikut-pengikut sendiri yang menjadi semakinbanyak setelah Jepang menyerah.
Akibat pengaruhnya yang besar tersebut, Chairil
disebut sebagai pelopor Angkatan
‟45.
Chairil Anwar menganut aliran
ekspresionisme yang masih merupakan keanehan dalamsastra Indonesia. Dalam
karya-karyanya Chairil mengatakan bahwa ia terpengaruh olehbeberapa penyair
Belanda. Sajak-sajak Charil memberi udara baru yang segar bagisastra
Indonesia.Chairil memiliki jiwa kriitis dan individualisme dalam pandangan yang
telah mendarahdaging. Hampir seluruh karya Chairil mencerminkan jiwanya yang
pemberontak. Sajak-sajak Chairil lahir dari segala bentuk persajakan yang ada
di Indonesia. Isi dari sajak-sajaknya berbeda, bukan hanya dalam bentuk, tetapi
juga dalam isi, loncatan, pikiran,dan
suasana perasaan.
Tidak ada perubahan aliran dan gaya
dalam karyanya mulai dari “Aku Ini BinatangJalang” hingga “Beta Pattirajawane”.
Namun, Chairil juga sempat membuat tiga buah
puisi yang
dianggapnya sebagai kelemahan karena gayanya yang tampak lebih mesra.
Ketiga puisi tersebut adalah “Doa”,
“Isa”, dan “Kepada Peminta
-
minta”.
Diperlukan berbagai pendekatan
dalam upaya memahami dan mengkaji karya sastra.Pendekatan-pendekatan tersebut
memiliki cara pemahaman dan fungsi yang berbeda-beda. Pendekatan-pendekatan
dalam pengkajian sastra tersebut diantaranya adalahpendekatan mimetik,
ekspresif, objektif, struktural, semiotik, sosiologis, resepsi sastra,psikologi
sastra, moral, dan feminisme.Sama halnya dengan upaya pengkajian sastra, dalam
upaya memahami sejarah sastra juga diperlukan suatu pendekatan. Pendekatan
yang digunakan dalam usaha pemahamansejarah sastra adalah pendekatan historis.
Pendekatan historis adalah pendekatan yangmempertimbangkan historitas karya
sastra yang diteliti dan dibedakan dengan sejarahsastra sebagai perkembangan
sastra dari awal hingga sekarang.Pendekatan historis disebut juga pendekatan
sejarah. Pendekatan sejarah menjelaskankajian
sejarah dari segi yang hendak dilakukan dan diungkapkannya. Untuk menunjangstudi
dan penelitiannya, pendekatan sejarah melintasi dan menggunakan
pendekatan-pendekatan lain. Pendekatan yang digunakan sebagai penunjang
tersebut adalah