Minggu, 20 Oktober 2013

Periodisasi Sastra


Periodisasi Sastra Indonesia

Sastra Indonesia berkembang dari waktu ke waktu, bahkan sebelum bahasa Indonesia diresmikan pada 28 Oktober 1928. Pada zaman dahulu bahasa Melayu dipakai sebagai bahasa kerajaan dan bahasa sastra (Purwoko, 2004: 84), hasil-hasil sastra berbahasa Melayu yang tidak tertulis juga sudah ditemukan sejak abad ke-19. Sementara itu, pondasi pendirian sastra Indonesia baru tegak berdiri pada tahun 1920-an dengan munculnya Balai Poestaka. Sejak saat itu sastra berkembang sampai saat ini, sastra Indonesia secara umum terbagi oleh beberapa periode, yaitu angkatan Balai Pustaka, Pujangga Baru, angkatan 1945, angkatan 1950, angkatan 1966, dan angkatan 1970—sekarang. Di era 2000-an seperti sekarang mulai dikenal cyber sastra, yaitu sastra yang beredar luas di dunia cyber atau internet. Berikut akan dipaparkan satu demi satu penjelasan terkait periodisasi sastra Indonesia.

Angkatan Balai Pustaka (1920—1933)

Balai Pustaka didirikan pada tahun 1908, tetapi baru tahun 1920-an kegiatannya dikenal banyak pembaca (Purwoko, 2004: 143). Berawal ketika pemerintah Belanda mendapat kekuasaan dari Raja untuk mempergunakan uang sebesar F.25.000 setiap tahun guna keperluan sekolah bumi putera yang ternyata justru meningkatkan pendidikan masyarakat. Commissie voor de Inlandsche School-en Volkslectuur, yang dalam perkembangannya berganti nama Balai Poestaka, didirikan dengan tujuan utama menyediakan bahan bacaan yang “tepat” bagi penduduk pribumi yang menamatkan sekolah dengan sistem pendidikan Barat. Sebagai pusat produksi karya sastra, Balai Poestaka mempunyai beberapa strategi signifikan (Purwoko, 2014: 147), yaitu
  1. merekrut dewan redaksi secara selektif
  2. membentuk jaringan distribusi buku secara sistematis
  3. menentukan kriteria literer
  4. mendominasi dunia kritik sastra
Pada masa ini bahasa Melayu Riau dipandang sebagai bahasa Melayu standar yang yang lebih baik dari dialek-dialek Melayu lain seperti Betawi, Jawa, atau Sumatera. Oleh karena itu, para lulusan sekolah asal Minangkabau, yang diperkirakan lebih mampu mempelajari bahasa Melayu Riau, dipilih sebagai dewan redaksi. Beberapa diantaranya adalah Armjin Pene dan Alisjahbana. Angkatan Balai Poestaka baru mengeluarkan novel pertamanya yang berjudul Azab dan Sengsara karya Merari Siregar pada tahun 1920-an. Novel yang mengangkat fenomena kawin paksa pada masa itu menjadi tren baru bagi dunia sastra. Novel-novel lain dengan tema serupa pun mulai bermunculan. Adapun ciri-ciri karya sastra pada masa Balai Poestaka, yaitu
  1. Gaya Bahasa : Ungkapan klise pepatah/pribahasa.
  2. Alur : Alur Lurus.
  3. Tokoh : Plot karakter ( digambarkan langsung oleh narator ).
  4. Pusat Pengisahan : Terletak pada orang ketiga dan orang pertama.
  5. Terdapat digresi : Penyelipan/sisipan yang tidak terlalu penting, yang dapat menganggu kelancaran teks.
  6. Corak : Romantis sentimental.
  7. Sifat : Didaktis (pendidikan)
  8. Latar belakang sosial : Pertentangan paham antara kaum muda dengan kaum tua.
  9. Peristiwa yang diceritakan saesuai dengan realitas kehidupan masyarakat.
  10. Puisinya berbentuk syair dan pantun.
  11. Menggambarkan tema pertentangan paham antara kaum tua dan kaum muda, soal pertentangan adat, soal kawin paksa, permaduan, dll.
  12. Soal kebangsaan belum mengemuka, masih bersifat kedaerahan.
Angkatan Pujangga Baru (1933—1942)

Pada tahun1933, Armijn Pane, Amir Hamzah, dan Sultan Takdir Alisjahbana mendirikan sebuah majalah yang diberi nama Poejangga Baroe. Majalah Poedjangga Baroe menjadi wadah khususnya bagi seniman atau pujangga yang ingin mewujudkan keahlian dalam berseni. Poedjangga Baroe merujuk pada nama sebuah institusi literer yang berorientasi ke aneka kegiatan yang dilakukan para penulis pemula. Majalah ini diharapkan berperan sebagai sarana untuk mengoordinasi para penulis yang hasil karyanya tidak bisa diterbitkan Balai Poestaka (Purwoko, 2004: 154).
Selain memublikasikan karya sastra, majalah ini juga merintis sebuah rubrik untuk memuat esai kebudayaan yang diilhami oleh Alisjahbana dan Armijn Pane. Kelahiran majalah Poedjangga Baroe menjadi titik tolak kebangkitan kesusastraan Indonesia. S.T. Alisjahbana, dalam artikel Menudju Masjarakat dan Kebudajaan Baru, menjelaskan bahwa sastra Indonesia sebelum abad 20 dan sesudahnya memiliki perbedaan yang didasari pada semangat keindonesiaan dan keinginan yang besar akan perubahan.
Adapun karakteristik karya sastra pada masa itu terlihat melalui roman-romannya yang sangat produktif dan diterima secara luas oleh masyarakat. Pengarang yang paling produktif yaitu Hamka dan Alisjahbana. Hamka, dalam Mengarang Roman, mengatakan Roman adalah bentuk modern dari hikayat. Roman memperhalus bahasa yang sebelumnya sangat karut marut menyerupai kalimat Tionghoa sehingga secara tidak langsung roman-roman yang ada mampu memicu minat baca masyarakat yang awalnya tidak gemar membaca.
Berdasarkan isi cerita, tema-tema yang ada memperlihatkan kecenderungan para pengarang yang membuat tokoh-tokoh dalam ceritanya berakhir pada kematian. Pengaruh Barat yang sangat kental pada perkembangan sastra Indonesia dalam periode Pujangga Baru menghasilkan beberapa perbedaan pandangan dalam kalangan sastrawan pada saat itu.Sebagai contoh, novel pertama yang diterbitkan majalah ini, Belenggu, pernah ditolak oleh Balai Pustaka karena dianggap mengandung isu tentang nasionalisme dan perkawinan yang retak. Dengan alasan didaktis, kedua isu budaya tersebut dianggap tidak cocok dengan kebijakan pemerintah kolonial.

Angkatan ’45 

Munculnya Chairil Anwar dalam panggung sejarah sastra Indonesia dengan menampilkan sajak-sajak yang bernilai tinggi memberikan sesuatu yang baru bagi dunia sastra tanah air. Bahasa yang dipergunakannya adalah bahasa Indonesia yang berjiwa. Bukan lagi bahasa buku, melainkan bahasa percakapan sehari-hari yang dibuatnya bernilai sastra (Rosidi, 1965: 91). Dengan munculnya kenyataan itu, maka banyaklah orang yang berpendapat bahwa suatu angkatan kesusateraan baru telah lahir. Angkatan ini memiliki beberapa sebutan, yaitu Angkatan ’45, Angkatan Kemerdekaan, Angkatan Chairil Anwar, Angkatan Perang, Angkatan Sesudah Perang, Angkatan Sesudah Pujangga Baru, Angkatan Pembebasan, dan Generasi Gelanggang.
Angkatan ’45 adalah angkatan yang muncul setelah berakhirnya Angkatan Pujangga Baru. Angkatan ini terbentuk karena Angkatan Pujangga Baru dianggap gagal menjalankan gagasannya. Pujangga Baru yang semula memiliki gagasan baratisasi sastra Indonesia, nyatanya hanya mentok pada belandanisasi. Dengan kata lain, tokoh-tokoh atau karya-karya seni dan sastra yang diambil sebagai acuan dan sumber inspirasi hanya berasal dari negeri Belanda saja, bukan dari penjuru Barat. Untuk meluruskan persepsi tersebut, muncullah Angkatan ’45 sebagai gantinya.
Keberadaan angkatan ini erat hubungannya dengan Surat Kepercayaan Gelanggang. Konsep humanisme universal menjadi acuan Perkumpulan Gelanggang karena mereka merasa karya-karya yang dibuat oleh Angkatan Pujangga Baru kurang realistis pada masa itu. Angkatan Pujangga Baru yang beraliran romatis dinilai terlalu utopis dan hanya mementingkan estetika. Berbeda dengan Angkatan Pujangga Baru, Angkatan ’45 beraliran ekspresionisme-realistik. Karya-karya yang dihasilkan bergaya ekspresif, menggambarkan identitas si seniman dan juga realistis. Dalam hal ini, realistis berarti fungsional atau berguna untuk masyarakat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Angkatan ’45 menganut pendapat seni untuk masyarakat, sementara Pujangga Baru menganut pendapat seni untuk seni.
Tema yang banyak diangkat dalam karya-karya seni Angkatan ’45 adalah tema tentang perjuangan kemerdekaan. Dari karya-karya bertemakan perjuangan itulah amanat yang menyatakan bahwa perjuangan mencapai kemerdekaan tak hanya dapat dilakukan melalui politik atau angkat senjata, tetapi perjuangan juga dapat dilakukan melalui karya-karya seni. Angkatan ’45 mulai melemah ketika sang pelopor, Chairil Anwar, meninggal dunia. Selain itu, Asrul Sani, yang juga merupakan salah satu pelopor mulai menyibukkan diri membuat skenario film. Kehilangan akan kedua orang tersebut membuat Angkatan ’45 seolah kehilangan kemudinya. Akhirnya, masa Angkatan ’45 berakhir dan digantikan dengan Angkatan’50.
Angkatan ’45 memiliki gaya yang berbeda dengan Angkatan Pujangga Baru. Gaya ini dipengaruhi oleh kondisi politik masing-masing angkatan. Angkatan Pujangga Baru memiliki gaya romantis-idealis karena pada saat itu perjuangan kemerdekaan belum sekeras yang dialami Angkatan ’45. Sementara Angkatan ’45 yang terbentuk pada saat gencarnya perjuangan kemerdekaan memilih gaya ekspresionisme-realistik agar dapat berguna dan diterima oleh masyarakat. Pada akhirnya, semua angkatan yang ada sepantasnya menyadari fungsi sosial mereka. Setiap angkatan harus memikirkan letak kebermanfaatan mereka bagi masyarakat karena mereka hidup dan tumbuh di dalam masyarakat.

Angkatan 1950

Angkatan ini dikenal krisis sastra Indonesia. Sejak Chairil Anwar meninggal, lingkungan kebudayaan “Gelanggang Seniman Merdeka” seolah-olah kehilangan vitalitas. Salah satu alasan utama terhadap tuduhan krisis sastra tersebut adalah karena kurangnya jumlah buku yang terbit. Sejak tahun 1953 , Balai Pustaka yang sejak dulu bertindak sebagai penerbit utama buku-buku sastra, kedudukannya sudah tidak menentu (Rosidi, 1965: 137). Sejak saat itu aktivitas sastra hanya dalam majalah-majalah, seperti Gelanggang/Siasat, Mimbar Indonesia, Zenith, Poedjangga Baroe, dll.
Karena sifat majalah, maka karangan-karangan yang mendapat tempat terutama yang berupa sajak, cerpen, dan karangan-karangan lain yang tidak begitu panjang. Sesuai dengan yang dibutuhkan oleh majalah-majalah, maka tak anehlah kalau para pengarangpun lantas hanya mengarang cerpen, sajak, dan karangan lain yang pendek-pendek (Rosidi, 1965: 138). Hal itulah yang memunculkan istilah “sastra majalah” pada masa itu. Berikut pendapat Soeprijadi Tomodihardjo, dalam artikelnya “Sumber-Sumber Kegiatan”1
  1. Kesusastraan sedang memasuki masa krisis, masalah kualitas dan kuantitas.
  2. Ekspansi ideologi ke dalam dunia seni mengakibatkan banyak orang meninggalkan nilai-nilai seni yang wajar, dan ideologi politik kian menguat.
  3. Seni dan politik adalah pencampuradukan yang lahir dari kondisi masa itu.
  4. Pada masa itu pula telah lahir organisasi-organisasi kegiatan kesenian yang mengarahkan kegiatanya pada seni sastra dan seni drama.
  5. Hal ini mengindikasikan seni mendapat perhatian.
  6. Kesusastraan berhubungan erat dengan adanya tempat berkegiatan, Jakarta di angggap sebagai pusatnya. Anggapan ini diluruskan, Jakarta hanya sebagai pusat produksi dan publikasi
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa angkatan 1950 merupakan angkatan yang sepi oleh karya karena sastra Indonesia yang ada dianggap sudah tidak lagi memiliki identitas, kesusasteraan mengalami krisis baik kualitas maupun kuantitas karena lahirnya pesimisme dan penggunaan seni ke ranah politik yang tidak dibarengi dengan tanggung jawab.

Angkatan 1966

Adalah suatu kenyataan sejarah bahwa sejak awal pertumbuhannya sastrawan-sastrawan Indonesia menunjukkan perhatian yang serius kepada politik (Rosidi, 1965: 177). Pada masa ini sastra sangat dipengaruhi oleh lembaga kebudayaan seperti Lekra dan Manikebu. Pada tahun 1961 Lekra,organ PKI yang memperjuangkan komunisme, dinyatakan sebagai organisasi kebudayaan yang memperjuangkan slogan “politik adalah panglima”. Sementara Menifes Kebudayaan merupakan sebuah konsep atau pemikiran di bidang kebudayaan dan merupakan sebuah reaksi terhadap teror budaya yang pada waktu itu dilancarkan oleh orang-orang Lekra. Manifes kebudayaan di tuduh anti-Manipol dan kontra Revolusioner sehingga harus dihapuskan dari muka bumi Indonesia. Pelarangan Manifes Kebudayaan diikuti tindakan politis yang makin memojokkan orang-orang Manifes Kebudayaan, yaitu pelarangan buku karya pengarang-pengarang yang berada di barisan. Adapun buku-buku yang pernah dilarang, antara lain Pramudya Ananta Toer, Percikan Revolusi, Keluarga Gerirya, Bukan pasar Malam ,Panggil Aku Kartini Saja , Korupsi dll; Utuy T. Sontani, Suling, Bunga Rumah makan,Orang-orang Sial, Si Kabayan dll; Bakri Siregar, Ceramah Sastra, Jejak Langkah , Sejarah Kesusastraan Indonesia Modern.
Menurut H. B. Jassin, ciri-ciri karya pada masa ini adalah sebagai berikut
  1. mempunyai konsepsi Pancasila
  2. menggemakan protes sosial dan politik
  3. membawa kesadaran nurani manusia
  4. mempunyai kesadaran akan moral dan agama
Angkatan 70-an sampai sekarang

Pada masa ini karya sastra berperan untuk membentuk pemikiran tentang keindonesiaan setelah mengalami kombinasi dengan pemikiran lain, seperti budaya. Ide, filsafat, dan gebrakan-gebrakan baru muncul di era ini, beberapa karya keluar dari paten dengan memperbincangkan agama dan mulai bermunculan kubu-kubu sastra populer dan sastra majalah. Pada masa ini pula karya yang bersifat absurd mulai tampak.
Di tahun 1980—1990-an banyak penulis Indonesia yang berbakat, tetapi sayang karena mereka dilihat dari kacamata ideologi suatu penerbit. Salah satu penerbit yang terkenal sampai sekarang adalah Gramedia. Gramedia merupakan penerbit yang memperhatikan sastra dan membuka ruang untuk semua jenis sastra sehingga penulis Indonesia senantiasa memiliki kreativitas dengan belajar dari berbagai paten karya, baik itu karya populer, kedaerahan, maupun karya urban. Sementara setelah masa reformasi, yaitu tahun 2000-an, kondisi sastra tanah air dapat digambarkan sebagai berikut2
  1. Kritik Rezim Orde Baru
  2. Wacana Urban dan Adsurditas
  3. Kritik Pemerintah terus berjalan
  4. Sastra masuk melalui majalah selain majalah sastra.
  5. Sastra bersanding dengan Seni Lainnya, banyak terjadi alih wahana pada jaman sekarang
  6. Karya yang dilarang terbit pada masa 70-an diterbitkan di tahun 2000-an, banyak karya Pram yang diterbitkan, karya Hersri Setiawan, Remy Sylado, dsb.
Seperti seorang anak, Sastra mengalami masa pertumbuhan. Masa pertumbuhan sastra tidak akan dewasa hingga jaman mengurungnya. Sastra akan terus menilai jaman melalui pemikiran dan karya sastrawannya. Pada tahun 1970-an, sastra memiliki karakter yang keluar dari paten normatif. Pada tahun 1980-an hingga awal 1990-an, sastra memiliki karakter yang diimbangi dengan arus budaya populer. Pada tahun 2000-an hingga saat ini, sastra kembali memiliki keragaman kahzanah dari yang populer, kritik, reflektif, dan masuk ke ranah erotika dan absurditas3




Perkembangan Sastra Indonesia:Periodisasi, Tokoh, dan Pendekatannya
Dalam sejarah perkembangannya, sastra indonesia memiliki periodisasi-periodisasiyang membedakannya. Periode-periode sastra tersebut menurut H.B. Jassin terbagi atasdua periode, yaitu periode sastra Melayu Lama dan periode sastra Indonesia Modern.Periode sastra Indonesia modern kemudian terbagi atas empat angkatan, yaitu AngkatanBalai Pustaka, Angkatan Pujangga Baru, A
ngkatan „45,
dan A
ngkatan „66.
 Periode sastra Melayu Lama adalah sastra Indonesia sebelum abad ke-20. Karya-karyasastra pada periode tersebut masih menggunakan bahasa Melayu. Selain itu, karya-karyatersebut umumnya bersifat anonim.Periode sastra Indonesia Modern dimulai pada tahun 1920-an. Balai Pustaka adalahangkatan yang memulai periode sastra Indonesia Modern ini. Angkatan Balai Pustakadikenal juga dengan sebutan angkatan
Siti Nurbaya
. Hal tersebut karena
Siti Nurbaya
 adalah salah satu roman yang sangat terkenal dibuat pada angkatan itu. Selain dari
Siti Nurbaya
karya lain yang terkenal pada pariode itu diantaranya adalah
 Azab danSengsara
karya Merari Siregar, dan
Salah Pilih
karya St. Iskandar.Periode kedua dari periode sastra Indonesia Modern adalah angkatan Pujangga Baru.Pujangga Baru adalah angkatan yang muncul sebagai reaksi ketidaksukaan sastrawan-sastrawan atas sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap banyak karya,terutama yang berhubungan dengan nasionalisme dan kesadaran kebangsaan. AmirHamzah mendapat gelar sebagai Raja Pujangga Baru. Karya sastra yang terkenal padaangkatan Pujangga Baru salah satunya adalah
 Layar Terkembang
karya Sutan TakdirAlisjahbana.Selanjutnya angkatan yang lahir pada periode sastra Indonesia Modern adalah angkatan
„45. Angkatan ‟45 lahir dalam suasana peperangan mempertahankan kemerdekaan
Indonesia. P
emberian nama angkatan ‟45 sesuai dengan pernyataan H.B. Jassin yang berbunyi “Juga tidak jadi keberatan kalau mereka baru dalam tahu 1949 mendapatkan
 
nama pasti Angkatan ‟45.”
Sastrawan yang terkenal pada Angkatan ‟45 diantaranya
adalah Chairil Anwar, Rivai Apin, dan Pramoedya Ananta Toer.
Angkatan terkahir dalam periode sastra Indonesia Modern adalah angkatan ‟66.
Angkatan ini dimulai saat terbitnya majalah
 Horison
. Karya sastra pada angkatan inimulai beragam. Karya sastra yang terkenal pada angkatan ini diantaranya adalah
Pabrik 
 karya Putu Wijaya dan
Tirani dan Benteng
karya Taufik Ismail.Masing-masing periodisasi sastra tersebut memiliki ciri dan keistimewaan. Periodesastra Melayu Lama yang umumnya bersifat istanasentris menggambarkan keadaanyang terdapat pada masa sebelum abad ke-20. Karya-karya sastra pada periode tersebutumumnya menceritakan hal-hal mistis yang sangat lekat dengan masyarakat pada masaitu.Sama dengan periodisasi sastra Melayu Lama, periodisasi sastra Indonesia Modern jugamemiliki ciri dan keistimewaan. Periode sastra Indonesia Modern merupakan titik tolak kesusastraan Indonesia. Bahasa Indonesia mulai digunakan dalam periode sastraIndonesia Modern. Empat jenis angkatan dengan masing-masing ciri dan alirannya yangmenandakan kemajuan sastra Indonesia lahir pada periode ini.Angkatan Balai Pustaka menonjol dengan aliran romantisme dalam karya-karyanya.Angkatan Pujangga Baru menonjol dengan aliran nasionalisme, individualisme,intelektualisme, dan materialisme dalam banyak karya
nya. Angkatan ‟45 bercorak 
realis, naturalis, dan individualis dalam karya-
karyanya. Angkatan ‟45 juga memiliki
corak romantik. Namun romanti mereka menurut H.B. Jassin adalah romantik berisipengalaman yang tidak hanya beralas perasaan. Selain itu, berbagai aliran baru dalamsastra muncul pada angkatan ini, yaitu surealis, arketipe, absurd, dll. Yang terakhir
adalah angkatan ‟66 yang bercorak perjuangan. Angkatan ini merupakan angkatan
pemuda yang memperjuangkan keadilan dan kebenaran dalam tubuh pemerintah RI.Karya-karya sastra pada angkatan ini berisi pembelaan terhadap Pancasila yang berisiprotes sosial dan politik.Salah satu sastrawan yang namanya melegenda dalam sejarah sastra Indonesia adalahChairil Anwar. Chairil anwar adalah salah satu sastrawan
dari Angkatan ‟45. Chairil
Anwar melakukan revolusi kesusastraan yang memperlihatkan bahwa ia bukan lagi
 
termasuk Pujangga Baru. Ia memiliki pengikut-pengikut sendiri yang menjadi semakinbanyak setelah Jepang menyerah. Akibat pengaruhnya yang besar tersebut, Chairil
disebut sebagai pelopor Angkatan ‟45.
 Chairil Anwar menganut aliran ekspresionisme yang masih merupakan keanehan dalamsastra Indonesia. Dalam karya-karyanya Chairil mengatakan bahwa ia terpengaruh olehbeberapa penyair Belanda. Sajak-sajak Charil memberi udara baru yang segar bagisastra Indonesia.Chairil memiliki jiwa kriitis dan individualisme dalam pandangan yang telah mendarahdaging. Hampir seluruh karya Chairil mencerminkan jiwanya yang pemberontak. Sajak-sajak Chairil lahir dari segala bentuk persajakan yang ada di Indonesia. Isi dari sajak-sajaknya berbeda, bukan hanya dalam bentuk, tetapi juga dalam isi, loncatan, pikiran,dan suasana perasaan.
Tidak ada perubahan aliran dan gaya dalam karyanya mulai dari “Aku Ini BinatangJalang” hingga “Beta Pattirajawane”. Namun, Chairil juga sempat membuat tiga buah
puisi yang dianggapnya sebagai kelemahan karena gayanya yang tampak lebih mesra.
Ketiga puisi tersebut adalah “Doa”, “Isa”, dan “Kepada Peminta
-
minta”.
 Diperlukan berbagai pendekatan dalam upaya memahami dan mengkaji karya sastra.Pendekatan-pendekatan tersebut memiliki cara pemahaman dan fungsi yang berbeda-beda. Pendekatan-pendekatan dalam pengkajian sastra tersebut diantaranya adalahpendekatan mimetik, ekspresif, objektif, struktural, semiotik, sosiologis, resepsi sastra,psikologi sastra, moral, dan feminisme.Sama halnya dengan upaya pengkajian sastra, dalam upaya memahami sejarah sastra juga diperlukan suatu pendekatan. Pendekatan yang digunakan dalam usaha pemahamansejarah sastra adalah pendekatan historis. Pendekatan historis adalah pendekatan yangmempertimbangkan historitas karya sastra yang diteliti dan dibedakan dengan sejarahsastra sebagai perkembangan sastra dari awal hingga sekarang.Pendekatan historis disebut juga pendekatan sejarah. Pendekatan sejarah menjelaskankajian sejarah dari segi yang hendak dilakukan dan diungkapkannya. Untuk menunjangstudi dan penelitiannya, pendekatan sejarah melintasi dan menggunakan pendekatan-pendekatan lain. Pendekatan yang digunakan sebagai penunjang tersebut adalah

Bahasa Inggris


Hansel dan Gretel

Once upon a time a very poor woodcutter lived in a tiny cottage in the forest with his two children, Hansel and Gretel. His second wife often ill-treated the children and was forever nagging the woodcutter.

"There is not enough food in the house for us all. There are too many mouths to feed! We must get rid of the two brats," she declared. And she kept on trying to persuade her husband to abandon his children in the forest.

"Take them miles from home, so far that they can never find their way back! Maybe someone will find them and give them a home." The downcast woodcutter didn't know what to do. Hansel who, one evening, had overheard his parents' conversation, comforted Gretel.

"Don't worry! If they do leave us in the forest, we'll find the way home," he said. And slipping out of the house he filled his pockets with little white pebbles, then went back to bed.

All night long, the woodcutter's wife harped on and on at her husband till, at dawn, he led Hansel and Gretel away into the forest. But as they went into the depths of the trees, Hansel dropped a little white pebble here and there on the mossy green ground. At a certain point, the two children found they really were alone: the woodcutter had plucked up enough courage to desert them, had mumbled an excuse and was gone.

Night fell but the woodcutter did not return. Gretel began to sob bitterly. Hansel too felt scared but he tried to hide his feelings and comfort his sister.

"Don't cry, trust me! I swear I'll take you home even if Father doesn't come back for us!" Luckily the moon was full that night and Hansel waited till its cold light filtered through the trees.

"Now give me your hand!" he said. "We'll get home safely, you'll see!" The tiny white pebbles gleamed in the moonlight, and the children found their way home. They crept through a half open window, without wakening their parents. Cold, tired but thankful to be home again, they slipped into bed.

Next day, when their stepmother discovered that Hansel and Gretel had returned, she went into a rage. Stifling her anger in front of the children, she locked her bedroom door, reproaching her husband for failing to carry out her orders. The weak woodcutter protested, torn as he was between shame and fear of disobeying his cruel wife. The wicked stepmother kept Hansel and Gretel under lock and key all day with nothing for supper but a sip of water and some hard bread. All night, husband and wife quarreled, and when dawn came, the woodcutter led the children out into the forest.

Hansel, however, had not eaten his bread, and as he walked through the trees, he left a trail of crumbs behind him to mark the way. But the little boy had forgotten about the hungry birds that lived in the forest. When they saw him, they flew along behind and in no time at all, had eaten all the crumbs. Again, with a lame excuse, the woodcutter left his two children by  themselves.

"I've left a trail, like last time!" Hansel whispered to Gretel, consolingly. But when night fell, they saw to their horror, that all the crumbs had gone.

"I'm frightened!" wept Gretel bitterly. "I'm cold and hungry and I want to go home!"

"Don't be afraid. I'm here to look after you!" Hansel tried to encourage his sister, but he too shivered when he glimpsed frightening shadows and evil eyes around them in the darkness. All night the two children huddled together for warmth at the foot of a large tree.

When dawn broke, they started to wander about the forest, seeking a path, but all hope soon faded. They were well and truly lost. On they walked and walked, till suddenly they came upon a strange cottage in the middle of a glade.

"This is chocolate!" gasped Hansel as he broke a lump of plaster from the wall.

"And this is icing!" exclaimed Gretel, putting another piece of wall in her mouth. Starving but delighted, the children began to eat pieces of candy broken off the cottage.

"Isn't this delicious?" said Gretel, with her mouth full. She had never tasted anything so nice.

"We'll stay here," Hansel declared, munching a bit of nougat. They were just about to try a piece of the biscuit door when it quietly swung open.

"Well, well!" said an old woman, peering out with a crafty look. "And haven't you children a sweet tooth?"

"Come in! Come in, you've nothing to fear!" went on the old woman. Unluckily for Hansel and Gretel, however, the sugar candy cottage belonged to an old witch, her trap for catching unwary victims. The two children had come to a really nasty place.

"You're nothing but skin and bones!" said the witch, locking Hansel into a cage. I shall fatten you up and eat you!"

"You can do the housework," she told Gretel grimly, "then I'll make a meal of you too!" As luck would have it, the witch had very bad eyesight, an when Gretel smeared butter on her glasses, she could see even less.

"Let me feel your finger!" said the witch to Hansel every day to check if he was getting any fatter. Now, Gretel had brought her brother a chicken bone, and when the witch went to touch his finger, Hansel held out the bone.

"You're still much too thin!" she complained. When will you become plump?" One day the witch grew tired of waiting.

"Light the oven," she told Gretel. "We're going to have a tasty roasted boy today!" A little later, hungry and impatient, she went on: "Run and see if the oven is hot enough." Gretel returned, whimpering: "I can't tell if it is hot enough or not." Angrily, the witch screamed at the little girl: "Useless child! All right, I'll see for myself." But when the witch bent down to peer inside the oven and check the heat, Gretel gave her a tremendous push and slammed the oven door shut. The witch had come to a fit and proper end. Gretel ran to set her brother free and they made quite sure that the oven door was tightly shut behind the witch. Indeed, just to be on the safe side, they fastened it firmly with a large padlock. Then they stayed for several days to eat some more of the house, till they discovered amongst the witch's belongings, a huge chocolate egg. Inside lay a casket of gold coins.

"The witch is now burnt to a cinder," said Hansel, "so we'll take this treasure with us." They filled a large basket with food and set off into the forest to search for the way home. This time, luck was with them, and on the second day, they saw their father come out of the house towards them, weeping.

"Your stepmother is dead. Come home with me now, my dear children!" The two children hugged the woodcutter.

"Promise you'll never ever desert us again," said Gretel, throwing her arms round her father's neck. Hansel opened the casket.

"Look, Father! We're rich now . . . You'll never have to chop wood again."

And they all lived happily together ever after.
http://cursor.com/index_07.gif